Dhea

Dhea

Rabu, 09 Maret 2011

DEMOKRASI POLITIK

DEMOKRASI POLITIK

Demokrasi adalah suatu ideologi yang serba normatip. Perwujudannya juga masih banyak ragamnya. Pada azasnya, demokrasi adalah kebebasan, dalam batas-batas peraturan perundangan, untuk berekspresi, bergerak, berusaha, berorganisasi, dan sebagainya. Kebebasan ini tidak boleh dinafikan oleh kekuatan yang dominan, baik itu kekuatan politik maupun ekonomi. Juga di bidang sosial, misalnya oleh pengaruh kuat dari agama atau tatanan sosial yang berlapis kaku, seperti patriarkhalisme. Maka demokrasi punya perwujudannya di bidang politik, di bidang ekonomi dan di bidang sosial.

Demokrasi politik sudah cukup ada di masyarakat kita sekarang dalam bentuk sistim representasi, dengan adanya partai politik yang setiap lima tahun ikut pemilihan umum. Rakyat memilih dewan perwakilan rakyat dan presiden yang membentuk pemerintah. Antara ketiga pilar sistim demokrasi politik ini, yakni legislatip, eksekutip dan judikatip yang masing-masing otonom kekuasaannya, ada checks and balances untuk menjaga keseimbangan. Dalam praktek masih banyak hal yang tidak bisa diatur oleh undang-undang dasar dan hukum negara, dan oleh karena itu demokrasi politik Amerika, negara Eropa dan Indonesia tidak serupa. Indonesia masih harus mencari bentuk dan keseimbangannya sendiri, sesuai dengan sejarah dan kebudayaannya, yang akan makan puluhan tahun, bahkan tak pernah berhenti.

Di Indonesia sekarang ini, misalnya, masih ada masalah mengenai kedudukan “masyarakat madani” (civil society) yang sudah melek dan aktip politik, yang minta tempatnya di sistim demokrasi politik, yang tidak terbatas pada hanya sekali lima tahun ikut aktip mempengaruhi kesudahan pemilu. Mereka ingin punya vote dan voice, hak memilih dan hak partisipasi dalam proses pengambilan keputusan eksekutip dan legislatip. Untuk yang akhir ini mereka tidak ada hak formalnya. Maka sebagian LSM merasa terasing atau dimarginalkan (alienated) dari elit politik yang menyusun “establishment”. Di negara yang sudah lebih maju maka sebagian dari masyarakat LSM tidak mengambil sikap menolak secara a priori akan tetapi berusaha mengadakan hubungan dialogis dengan establishment (engagement dan bukan disengagement), untuk meningkatkan pengaruhnya. Di Indonesia kecenderungan ini baru mulai. Dewasa ini hubungan dan sikap konfrontatip dan disengagement lebih tampak. Tetapi, salah suatu gejala politik yang mutakhir adalah tekad sebagian perempuan LSM muda dan kaum intelektual lainnya (contoh: Mari Pangestu, Sjahrir, Andi Mallarangeng) untuk masuk sistim kepartaian, dan ada yang membentuk partainya sendiri. Caleg perempuan berusaha masuk partai yang ada pula. Kuota nominal 30% akan membantu perjuangan mereka. Adanya partai kecil dan caleg perempuan ini kiranya tidak akan mempengaruhi power balance yang umum, tetapi bisa memperbaiki kualitas kehidupan politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar